Inilah kenyataan yang harus dihadapi Indonesia. Sebagian talenta terbaik di berbagai bidang, termasuk teknologi informasi dan para ilmuwan, lebih memilih mengembangkan karir di luar negeri.
Indri Juwita Asmara, Peneliti Kebijakan IPTEK dan Inovasi LIPI, mengatakan pada beberapa literatur ada sejumlah faktor yang melatarbelakangi terjadinya migrasi intelektual, antara lain pendapatan yang lebih tinggi di luar negeri, lebih banyak kesempatan kerja, kondisi kerja yang lebih baik, standar hidup yang lebih tinggi, kualitas hidup yang lebih baik, serta fasilitas R&D yang lebih mendukung di luar negeri.
Indri bersama tim pernah melakukan penelitian mengenai ilmuwan diaspora. Dari penelitian tersebut ditemukan adanya dua faktor utama yang mempengaruhi fenomena tersebut, antara lain daya tarik (kenyamanan, kualitas hidup yang lebih baik, dan fasilitas yang mendukung aktivitas riset), dan kesempatan untuk menjadi ilmuwan diaspora di luar negeri terbuka melalui kompetisi global yang berdasarkan prestasi kerja.
Kedua, pandangan terhadap keadaaan di Indonesia yang turut mempengaruhi keputusan ilmuwan diaspora untuk berkerja di luar negeri, seperti rasa khawatir, kekecewaan pada sistem, birokrasi panjang dan berbelit, serta perasaan kurang dihargai oleh negara sendiri.
“Sebanyak 60 persen saintis diaspora menyetujui rasa kurang dihargai membuat saintis memutuskan untuk bekerja di luar negeri. Ketersediaan bidang ilmu yang diinginkan, kelengkapan keperluan riset, ilmu yang lebih luas dalam bidang yang diinginkan, serta pendanaan riset merupakan cerminan fasilitas yang tersedia di luar negeri,” ujarnya.
Pada umumnya, tujuan ilmuwan adalah negara maju dengan tingkat pendanaan riset yang tinggi dan dibutuhkan langsung oleh industri, seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Jepang, Australia, dan Singapura.
“Walaupun ada beberapa faktor pendorong yang kuat untuk bekerja di luar negeri, keinginan untuk kembali ke Indonesia sebetulnya tetap ada,” ujarnya.
Ada beberapa hal yang menurutnya masih menjadi pekerjaan rumah bersama, yakni bagaimana pemerintah melalui lembaga litbang, perguruan tinggi, dan swasta mampu menciptakan ekosistem riset dan inovasi yang baik. Misalnya dengan kebijakan yang lebih baik dan diikuti komitmen berkelanjutan untuk meningkatkan peran ilmuwan diaspora sehingga dapat menjadi bagian dalam pembangunan.
Indri juga mengatakan fenomena yang terjadi saat ini sebetulnya bukan sekadar kehilangan atau mendapatkan kembali tetapi bagaimana agar talenta terbaik Indonesia tetap dapat berkontribusi di mana pun berada. Fenomena ini disebut dengan Brain Circulation. Hal ini yang terjadi dengan keterlibatan insinyur dari Cina dan India di Lembah Silikon, Amerika Serikat (29 persen bisnis teknologi di sana dijalankan oleh insinyur dari Cina dan India).
Di India, migrasi intelektual berkontribusi pada reputasi Bangalore sebagai lembah Silikon-nya India dan pengembangan Nanocity. Taiwan yang mendirikan Hsinchu Science Industrial Park di Taipei sebagai pusat pengembangan teknologi tinggi, seperti industri semikonduktor, komputer, telekomunikasi, dan optoelektronik. Sebagian besar perusahaan ini didirikan oleh Tionghoa Taiwan yang berpendidikan dan bekerja di Sektor IT di AS dan negara maju lain.
“Dari sini kita bisa melihat bahwa konsep brain drain, di mana intellectual migration hanya menguntungkan satu negara saja dengan mengorbankan negara asal tidak lagi relevan dan tergantikan oleh konsep Brain Circulation yang menguntungkan kedua belah pihak negara asal maupun negara penerima,” tuturnya.
Di sinilah dia melihat keberadaan ilmuwan diaspora di luar negeri dapat berperan sebagai agen yang membuka jalan dalam perkembangan iptek dan inovasi di Indonesia. Misalnya melalui pertukaran mahasiswa atau ilmuwan, mahasiswa PhD dan pascadoktoral, profesor tamu, dan kolaborasi riset hingga pengembangan startup.
“Hal ini lah yang dapat memberi ruang bagi pemerintah dan swasta di dalam negeri untuk dapat meningkatkan peran diaspora di dalam negeri,” tuturnya.