Perubahan gaya hidup selama pandemi Covid-19, seperti konsumsi gula berlebih dan berkurangnya aktivitas fisik, berpotensi meningkatkan risiko obesitas. Obesitas sendiri memiliki risiko pradiabetes dan diabetes, di mana hampir 90 persen orang dengan diabetes tipe 2 mengalami masalah kelebihan berat badan atau obesitas.
Dr. Elvieda Sariwati, Plt Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan RI, mengungkapkan prevalensi diabetes di tingkat nasional menunjukkan dari 6,9 persen pada 2013, menjadi 8,5 persen pada 2018 dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018. Seperti yang kita ketahui, diabetes dapat menjadi jalan pintas penyakit-penyakit tidak menular lain, seperti gangguan penglihatan, penyakit jantung, gagal ginjal, dan gangguan saraf.
Dari 10-15 tahun sejak awal terdiagnosa, prevalensi semua komplikasi ini akan meningkat tajam. Tak hanya itu, diabetes juga menjadi salah satu faktor komorbid yang berkaitan dengan peningkatkan tingkat keparahan COVID-19.
“Pencegahan sedini mungkin adalah solusi terbaik agar terhindar dari dampak fatal diabetes. Terapkan perilaku hidup sehat dengan menjalani GERMAS dan CERDIK. Kuatkan komitmen untuk menjaga pola makan yang bergizi dan perhatikan asupan gula sehari-hari, rutin beraktivitas fisik, dan jangan ragu untuk segera periksakan diri ketika muncul gejala awal.” ujarnya.
Dia menambahkan, menjaga pola makan sehat dan perhatikan asupan gula sehari-hari, rutin beraktivitas fisik, lakukan deteksi dini atau skrining berkala, dan jangan ragu segera periksakan diri ketika muncul gejala awal.
Spesialis gizi klinis Dr. Marya Haryono menjelaskan konsumsi gula berlebih berkontribusi terhadap tingginya asupan kalori yang dapat meningkatkan risiko obesitas dan diabetes. Sayangnya, masyarakat masih cenderung mengonsumsi gula dalam jumlah yang tinggi, baik dari penambahan gula saat memasak, makan dan minum, maupun melalui konsumsi makanan dan minuman manis yang tinggi gula.
Dia mengatakan masyarakat juga perlu waspada kandungan gula di makanan dan minuman kemasan. Untuk itu, masyarakat perlu lebih jeli memperhatikan label kemasan guna mengetahui kandungan gula tersembunyi di makanan dan minuman. Hal ini penting agar kita lebih sadar jumlah gula yang dikonsumsi setiap hari.
“Selain itu, masyarakat juga secara rutin perlu melakukan pengukuran berat badan untuk mengetahui apakah berat badan mereka termasuk kategori normal atau overweight dan bahkan obesitas. Cara pengukurannya dengan metode perhitungan Indeks Massa Tubuh (IMT), yaitu jumlah berat badan (dalam kilogram) dibagi tinggi badan (dalam meter) kuadrat,” jelas Marya.
Berdasarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), untuk orang Asia apabila hasil BMI-nya di bawah 18,5 maka tergolong kurus, sementara BMI 18,5-22,9 termasuk kategori normal. Masyarakat perlu lebih waspada apabila hasil BMI mencapai angka 23,0-24,9 karena sudah termasuk kelebihan berat badan, 25-29,9 termasuk kategori obesitas tingkat I, dan ≥30 dinyatakan obesitas tingkat II.
Yusra Egayanti, Koordinator Standardisasi Pangan Olahan Keperluan Gizi Khusus, Badan POM RI, mengatakan cermat membaca label kemasan pangan olahan dapat membantu lebih bijak dalam konsumsi gula dan terhindar dari risiko obesitas. Masyarakat harus selalu memperhatikan empat informasi nilai gizi dalam label kemasan, yaitu jumlah sajian per kemasan, energi total per sajian, zat gizi seperti lemak, lemak jenuh, protein, garam/natrium, dan karbohidrat, termasuk gula, dan persentase Angka Kecukupan Gizi (AKG) per sajian.
“Idealnya, dalam sehari, masyarakat dapat mengonsumsi gula tak lebih 50 gram atau setara dengan 4 sendok makan, garam sebanyak 5 gram atau setara dengan 1 sendok teh, dan lemak total sebanyak 67 gram atau 5 sendok makan.” ujarnya.